Buruh Harus Jadi Pemilik Saham Agar Buruh “Kawal” Perusahaan
Palangkaraya, 16 Oktober 2025
Baru-baru ini Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025. Peraturan ini tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tersebut sudah cukup membuat perusahaan perkebunan menjadi ketar-ketir. Pasalnya, sanksi yang akan dikenakan kepada perusahaan yang berusaha dikawasan hutan jumlahnya cukup besar.
Baca : Terapkan Denda Tinggi, PP 45 Tahun 2025 Dinilai Ancam Industri Sawit Nasional
Jumlah yang besar tersebut sontak membuat para pemilik perusahaan perkebunan menjadi kalang kabut. Selain karena harus membayar dengan jumlah yang cukup besar, ternyata perusahaan juga harus mengembalikan areal yang diusahainya tersebut. Akan tetapi tekanan tersebut belum berhenti disitu saja bagi perusahaan yang areal usahanya didalam kawasan hutan. PP Nomor 45 yang baru terbit itu pun dinilai menambah panjang penderitaan perusahaan-perusahaan tersebut.
Salah satu perubahan dari PP Nomor 24 tahun 2021 yang diatur dalam PP Nomor 45 tersebut adalah tentang tindakan penguasaan kembali. Hal ini disematkan didalam Pasal 3 ayat (5) dari PP Nomor 24 Tahun 2021. Penguasaan Kembali tersebut maksud nya adalah tentang tindakan yang dilakukan pemerintah guna menyelamatkan dan menertibkan penguasaan kawasan hutan. Hal ini pun merupakan tambahan didalam PP Nomor 24 Tahun 2021 yang disebutkan dalam PP Nomor 45 Tahun 2025.
Perusahaan mungkin berfikir bahwa ketika tindakan penguasaan kembali dilakukan, maka tidak dapat lagi dilakukan aktifitas apapun diatasnya. Sehingga hal tersebut akan berefek kepada pemasukan perusahaan yang seharusnya masih dapat diperoleh untuk digunakan membayar sanksi yang ada. Perusahaan pasti merasa sendirian, dan mungkin menganggap pemerintah tidak adil karena selama ini pajak sudah diberikan kepada negara. Namun perusahaan lupa bahwa selain dia, buruh juga korban berikutnya dari kebijakan tersebut.
Jika mengacu kepada luasan areal yang disita dari PT Globalindo Alam Perkasa, maka ada 12.069 Ha yang diduga akan diambil negara. Tentunya jumlah ini cukup fantastis apalagi jika dibayangkan berapa jumlah pekerjanya yang mungkin akan diberhentikan. Jika 10 Ha areal sawit dikerjakan oleh 1 orang buruh, maka diduga akan ada sekitar 1200 buruh yang akan berhenti bekerja. Dari jumlah ini jelas buruh berkepentingan terhadap kebijakan pemerintah terkait masalah pengusahaan areal kawasan hutan oleh perusahaan.
Baca Juga : Musim Mas Group Pertanyakan Penyitaan Lahan Sawit di Kalimantan Tengah
Namun apakah buruh pernah diberitahukan oleh perusahaan tentang apa yang sedang dihadapinya saat ini ?. Atau mungkin tidak pernah diberitahukan karena malu sebab selama ini ketika perusahaan untung buruh hanya diberikan remah-remah nya saja. Tapi yang jelas tanpa berfikir perusahaan memanfaatkan buruh nya dalam masalah ini, buruh berkepentingan terhadap kebijakan pemerintah ini. Dan buruh sudah seharusnya mengetahui hal ini sebab efeknya jelas akan berdampak langsung bagi kehidupannya kedepan.
Jika setelah disita oleh negara selanjutnya areal tersebut dikuasai untuk dihutankan kembali, maka pasti buruh akan berhenti bekerja. “Pasti masalah besar selanjutnya terkait dengan hak atas pemutusan hubungan kerja buruh dan lapangan kerja bagi mereka selanjutnya”. Meliana SH selaku Ketua Serikat Pekerja Multi Sektor Sumatera Utara 9SPMS-SU) menyampaikan hal tersebut kepada buruhmerdeka.com. Ia mengatakan agar negara kembali mempertimbangkan kebijakan tersebut sebab efeknya besar bagi buruh.
Menurut Meliana jika hal tersebut terjadi sudah cukup lama maka pemerintah sebelumnya juga wajib bertanggung jawab. “Tanggung jawab donk pemerintah sebelumnya, bukan kah dapat diduga ada pembiaran selama ini oleh mereka”, tegas Meli. Dia juga menilai disinilah efek kikirnya perusahaan terhadap buruh yang tidak dijadikan pemilik saham selama ini. “Coba buruh merupakan pemilik saham juga, pasti lain jadinya, sebab buruh akan mengetahui sejak awal masalah ini”, tutur Meli. Lanjutnya, “jika buruh mengetahui lebih awal masalah ini dalam posisi dia juga pemilik saham, maka mungkin aksi tolak Undang-Undang Cipta Kerja isunya akan bertambah”.
Meliana yakin bahwa jika buruh merupakan pemilik saham pasti perusahaan akan dikawal oleh seluruh buruh. “Pasti dikawal perusahaan itu jika buruh merupakan pemilik saham, kan perusahaan nya milik dia juga, ya pasti di kawal lah”, tutup nya. Dari paparan Advokat muda ini terlihat cukup masuk akal peran buruh yang akan bertambah jika menjadi pemilik saham. Oleh karena itu, jika melihat pandangan Meliana tersebut, maka perusahaan lain sudah harus mempertimbangkan agar buruh dijadikan sebagai pemilik saham perusahaan.
Baca : KESEJAHTERAAN TERWUJUD, JIKA BURUH JUGA MENJADI “PESAHAM” | Buruh Merdeka
Kini para pemilik saham dari perusahaan-perusahaan yang berada dalam kawasan hutan pasti sulit tidur. Tidak hanya perusahaan perkebunan, sebab perusahaan tambang juga diduga ada yang berusaha didalam kawasan hutan. Masing-masing harus berfikir keras dalam menyikapi langkah pemerintah ini, dan pastinya sebelum final akan terus menjadi keresahan bagi para pemilik saham. (yig)




