HukumLegislasiNewsPerdataPerjuangan
Sorbatua Siallagan Dan Kesadaran Untuk Memiliki Surat Tanah
Medan, 3 April 2024
Konflik pertanahan sepertinya tiada henti di negeri ini mulai dari masa penjajahan, hingga masa reformasi. Pada masa penjajahan, kerajaan digunakan sebagai alat penjajah untuk mendapatkan tanah-tanah masyarakat. Tak heran jika paska kemerdekaan masyarakat berontak dan merebut tanah-tanah yang dikuasai penjajah.
Masyarakat melawan, termasuk kepada kekuasaan kerajaan yang dahulu melegitimasi penguasaan penjajah.
Paska kemerdekaan Indonesia, aturan hukum mulai dibentuk hingga saat ini. Diantaranya adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanahan. Dalam aturan pertanahan ini, diatur bagaimana pengusaha memperoleh tanah. Selain itu, juga diatur bagaimana melindungi tanah yang dikuasai masyarakat secara turun temurun.
Terkait aturan yang melindungi tanah masyarakat, jangan lupakan masyarakat hingga saat ini tidak semua melek hukum. Apalagi masyarakat desa yang berada jauh dari perkotaan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah tingkat pengetahuan. Selain itu adalah akses informasi dan sosialisasi pemerintah akan aturan baru. Oleh karena itu, wajar jika saat ini masih banyak masyarakat yang menguasai tanah namun tidak memiliki surat tanah.
Surat tanah adalah istilah yang familiar didalam kehidupan masyarakat. Dia sebenarnya mengandung arti bukti kepemilikan tanah. Secara hukum, surat tanah tersebut disebut dengan Sertifikat Hak Atas Tanah. Bukti inilah yang masih sering tidak dimiliki oleh masyarakat. Penyebabnya pada umumnya adalah karena masyarakat masih melihat kepada adat dan kebiasaan. Adat dimana orang akan malu mengakui tanah orang sebagai tanahnya. Selain itu, juga disebabkan karena pihak pada batas-batas tanah pasti saling mengetahui siapa teman sebatas.
Disisi lain pengusaha ketika hendak berusaha, memiliki banyak potensi untuk mengakses segala aturan terkait usahanya. Pengusaha bisa membayar konsultan untuk merumuskan tahapan pembangunan usahanya. Hal ini pun termasuk merumuskan tahapan untuk memperoleh tanah. Ketika seluruh tahapan sudah tersusun, maka selanjutnya pengusaha tinggal menjalaninya saja.
Pengusaha tidak butuh waktu lama untuk menemukan langkah dalam memperoleh tanah. Dan ketika tahapannya sudah ditemukan, maka tak rumit bagi pengusaha untuk memperoleh tanah yang dibutuhkannya. Jangan lupa bahwa pengusaha punya uang untuk bisa membiayai perolehan tanah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jelas ada ketimpangan antara Masyarakat dan Pengusaha. Masyarakat masih berhadapan dengan pengetahuan yang tidak memadai terkait dengan aturan hukum. Sedangkan pengusaha, berpotensi menyelesaikan masalah teersebut dengan menggunakan konsultan hukum.
Ketika pengusaha memulai proses perolehan tanah, maka masyarakat ditanah tersebut akan dipertanyakan bukti haknya. Disini, masyarakat desa pada umumnya akan kesulitan membuktikannya dalam bentuk surat tanah. Masyarakat hanya mengatakan bahwa tanah tersebut sudah dikuasai secara turun temurun.
Menurut Nining Suganti, S.H., tidak bisa dikatakan tidak ada kepemilikan tanah masyarakat jika dia tidak punya sertifikat tanah. “Kalau bicara alat bukti, dalam hukum perdata tidak hanya surat sebagai alat bukti, ada alat bukti lain seperti saksi”, tutur Nining. Hal ini dikatakannya kepada Jurnalis buruhmerdeka.com saat diwawancarai di Pengadilan Hubungan Industrial Medan. Nining adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan Pembela Hak Asasi Manusia Indonesia Bonum Communae Cabang Langkat.
Nining mengatakan, jika seluruh proses permohonan hak atas tanah dilakukan dengan benar, tidak akan ada orang kehilangan tanahnya. “Dalam permohonan hak atas tanah itu, ada tahap dimana lahan yang dimohonkan di periksa ke lokasi”, tutur Nining. “Pada tahap itu, Kepala Dusun hingga Kepala Desa berkesempatan menyampaikan fakta tentang kepemilikan tanah tersebut”. Nining menegaskan hal tersebut kepada jurnalis buruhmerdeka.com
Baca Juga : 1072-ID-peranan-pemerintah-desa-memberi-perlindungan-hak-milik-atas-tanah-masyarakat-di.pdf (neliti.com)
Dari pendapat diatas, maka sudah sepatutnya tidak ada masyarakat yang kehilangan tanahnya secara tiba-tiba. Hal ini karena ketika Kepala Dusun dan Kepala Desa jujur serta menguasai wilayahnya, akan terungkap siapa pemilik tanah sebenarnya. Ketika itu terjadi, maka tidak akan ada kemungkinan tanah tersebut beralih ketangan orang yang tidak berhak.
Uraian diatas dapat juga menjadi pertimbangan dalam melihat permasalahan tanah Sorbatua Siallagan. Dia (menurut BBC News), adalah Tetua Adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pada tanggal 22 Maret 2024 dia ditangkap atas dugaan merusak, menebang dan membakar hutan konsesi PT Toba Pulp Lestari.
Menurut Sorbatua Siallagan dan massa yang melakukan aksi di Polda Sumut, tanah tersebut adalah tanah leluhurnya. Artinya, tanah tersebut sudah lama dikuasai secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Jika pada faktanya diatas tanah tersebut belum pernah terbit sertifikat hak atas tanah, apakah dapat disimpulkan tiada hak diatasnya ?. “Tidak bisa begitu melihat hukum”, tutur Nining Suganti. “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”, kata Nining mengutip kalimat Satjipto Raharjo. “Jadi, ketika hukum menghilangkan hak orang, maka hukum tidak bermanfaat dan tidak perlu digunakan”, tegasnya.
Hukum tidak dapat dilihat secara ilmu pasti, sebab dalam memutus suatu perkara hakim tidak hanya berdasarkan hukum. Hakim juga memutus berdasarkan keyakinannya yang didasarkan kepada pengetahuan dan hati nurani. Oleh karena itu, kepemilikan masyarakat disatu bidang tanah, dapat juga dilihat dari sejarah penguasaan tanah tersebut. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan jika hati nurani dapat didengar, sehingga tidak melihat seperti menggunakan kaca mata kuda.
Oleh karena itu tidak salah pemerintah sebagai pemberi hak melihat dari sisi tersebut terkait penguasaan tanah masyarakat. Hal inilah yang menurut Nining sebagai sebuah kebijaksanaan pemerintah. “Perlu dibijaksanai oleh pemerintah ketika masyarakat desa tidak memiliki bukti kepemilikan tanahnya”. Tambah Nining, “sebab pada umumnya didesa, masyarakat terlebih dahulu menguasai tanah ketimbang pengusaha”.
Pemerintah punya potensi untuk menginventarisir penguasaan atas tanah di negeri ini. Hal ini dapat dilakukan pemerintah karena struktur pemerintah sampai pada tingkat dusun. Jika itu dapat dilakukan, maka tidak akan lagi ada konflik atas tanah di negeri ini. Namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka harusnya masyarakat dimaklumi jika belum memiliki surat tanah.
Terkait Sorbatua, sepertinya tidak susah mencari Sorbatua lain yang menguasai tanah sejak lama namun tidak punya sertifikat tanah. Dan itu sangat banyak di Indonesia hingga saat ini. Oleh karenanya tidak adil ketika masyarakat yang tidak punya surat tanah, di anggap tidak berhak atas tanahnya.
Pembuatan surat bukti kepemilikan atas tanah, sekalipun sudah diundangkan tetap membutuhkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakannya. Kesadaran itu, tumbuh dari adanya pengetahuan yang mapan dari masyarakat. Pengetahuan yang mapan ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat pendidikan yang dikecap. Terkait pendidikan, sepertinya tidak salah jika dikatakan kualitasnya tidak merata antara kota dan didesa.
Lihat Juga : Demo Masyarakat Adat Bebaskan Sorbatua Siallagan di Polda Sumut Ricuh, Polisi Perketat Pengamanan (youtube.com)
Oleh karena itu, sekali lagi seperti yang dikatakan Nining diatas, ini semua menyangkut kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah benar-benar diharapkan dapat bijaksana dalam menyikapi kondisi masyarakat yang tingkat pengetahuannya rendah. Sehingga dengan demikian hukum tidak dilaksanakan seperti sedang menggunakan kaca mata kuda. (yig)
What’s your Reaction?
+1
+1
+1
+1
+1
+1
+1