Benarkah Sorbatua Siallagan Ditangkap Tak Sesuai Prosedur ?
Medan, 26 Maret 2024
Lagi, aksi masyarakat yang mengkritik kinerja Kepolisian terjadi. Kali ini, aksi tersebut dilakukan di gerbang kantor Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu).
Kurang lebih seratus orang masyarakat adat Tano Batak dan berbagai masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL) mendesak pembebasan tokoh adat Sorbatua Siallagan. Massa berkumpul menyampaikan desakan, di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara, 25 Maret 2024.
Baca : Profil Sorbatua Siallagan yang Ditangkap Polda Sumut dan Picu Demo Berjilid | kumparan.com
Sorbatua Siallagan diduga ditangkap saat sedang beli pupuk pertanian. Saat kejadian, ada istrinya sedang bersamanya. Pimpinan aksi yang bernama Doni Munte menyampaikan, Sorbatua Siallagan adalah penjaga tanah adat warisan nenek moyang secara turun-temurun berdasarkan nilai-nilai dan kearifan lokal yang terbukti mampu menjaga keberlangsungan alam dan lingkungan. “Sorbatua bukan pelaku kriminal”, tutur Doni.
Fernando Siallagan yang merupakan anak Sorbatua Siallagan menjelaskan, bahwa saat Ayahnya ditangkap, polisi tidak menunjukkan Surat Perintah Penangkapan. Saat keluarga menghubungi aparat desa, diketahui tidak ada pemberitahuan tentang akan adanya warga yang hendak ditangkap.
Baca Juga : Masyarakat Adat Tano Batak Mendesak Pembebasan Sorbatua Siallagan | Witness (tempo.co)
Dari komunikasi Pihak desa dengan Polres Simalungun, diketahui tidak ada rencana penangkapan Sorbatua Siallagan. Keluarga juga sudah ke Polda Sumatera Utara untuk mencari informasi, namun tetap juga tidak ada informasi. Hal tersebut diterangkan Fernando kepada jurnalis buruhmerdeka.com.
“Besar harapan saya Polda membebaskan bapak saya sekarang. Bapak saya bukan kriminal, Bapak saya hanya mempertahankan warisan leluhur kami,” harap Fernando.
Ketiadaannya undang-undang yang melindungi masyarakat adat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat. Masyarakat adat menjadi korban perampasan wilayah adat dan kriminalisasi anggota masyarakat adat, seperti yang dialami Sorbatua Siallagan. Hal ini dituturkan Calvin Tampubolon kepada jurnalis buruhmerdeka.com.
“Aksi ini akan terus berlanjut dengan massa yang lebih besar jika tetua adat kami Sorbatua Siallagan, masih belum dibebaskan.”, tutur Calvin. Jhontoni Tarihoran Ketua Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak, juga angkat bicara. Dia berharap ke depan tidak ada lagi kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat di Sumatera Utara dan Nusantara.
Jika dugaan bahwa penangkapan tersebut menyalahi prosedur, hal ini jelas mengulang cerita lama dari aktifis tani, Arisman. Dirinya adalah seorang petani yang ditahun 1980an harus merasakan dinginnya sel karena mempertahankan tanahnya. Bedanya, kalau Sorbatua diduga berkonflik dengan perusahaan kayu, maka Arisman dengan perkebunan. Tapi itu pada dasarnya sama saja dilihat dari sisi petani melawan pengusaha, tutur Meliana, S.H. Dia adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum & Pembela Hak Asasi Manusia Indonesia Bonum Communae, Cabang Asahan.
Baca Juga : FPTR, Organisasi Petani Asahan 2005: KEMBALIKAN TANAH KAMI ! (buruhmerdeka.com)
Saat ini lembaga bantuan hukum yang di pimpin Meliana, S.H., sedang mengadvokasi petani yang berhadapan dengan pengusaha. Arisman yang merupakan salah satu petani yang diadvokasi, juga mengalami penangkapan dalam perjuangannya. Menurut Meliana,S.H., konflik pertanahan antara masyarakat dan pengusaha masih cukup padat di Indonesia. Dan katanya, itu bukan hanya baru terjadi saat ini, namun sudah sejak dahulu demikian. Meliana, S.H., mengingatkan pemerintah bahwa hendaknya sigap melihat konflik tanah dan segera bersikap yang tepat. “Saran saya jangan langsung proses hukum, pemerintah harus bawa duduk bersama pihak yang berkonflik itu”, ungkapnya. “Kan memungkinkan untuk tidak langsung proses hukum, melainkan mediasi”, tambah Meliana,S.H.
Baca Juga : LBH Bonum Communae Asahan: “Kita Gugat Operator Ojek Online” (buruhmerdeka.com)
Meliana, S.H., juga mengatakan ada upaya hukum yang bisa dijalankan beriringan dengan aksi massa, yaitu Praperadilan. Hanya saja pengajuannya punya syarat yang bisa membuat upaya tersebut tidak dapat dijalankan. menurutnya syarat tersebut ketika sudah dimulainya persidangan pidana pokok. “Saran saya, agar warga mempertimbangkan praperadilan sebagai cara selain aksi massa”, tutur Meliana, S.H. Tambahnya, “benar tidaknya ada penangkapan yang tidak sah, ruang hukum atas jawaban itu adalah Praperadilan.
Baca Juga : Mengenal Lebih Dekat Praperadilan Dalam Ruang Perkara Pidana (buruhmerdeka.com)
Dari informasi massa aksi yang menuntut dilepaskannya Sorbatua, aksi aksi lanjutan akan dilakukan. “Kami akan datang lagi, dan terus, dengan massa yang lebih besar”, teriak massa aksi melalui pengeras suaranya. Massa aksi menduga bahwa penangkapan Sorbatua tidak sah, sehingga menuntut pelepasannya. Pihak Kepolisian kiranya juga mengevaluasi apakah prosedur sudah dipenuhi. Jika sudah memenuhi ataupun belum memenuhi, berkomunikasi dengan massa aksi bukan hal yang salah jika dilakukan. (San)